Awal Mula Tradisi Ma’nene
Kisah Ma`nene bermula dari
seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika
itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla.
Dikisahkan di tengah perburuan,
Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia.
Jasad itu tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya
mengenaskan.
Tubuhnya tinggal tulang belulang.
Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju
yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan
perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali
Pong mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan
di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah.
Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya.
Bahkan, hasilnya berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke
hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan,
arwah tersebut sering diajak berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan
bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya
tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen
besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene,
upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual
Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan
Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap
warga.
Ketika salah satu pasangan suami
istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi
sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual
Ma`nene, status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah.
Tapi, jika
sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan
dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan
setiap tahun sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih
dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah
leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya
jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang
melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita
sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja
diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun,
masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya
atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada
umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit
atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang
menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan
Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal
dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya
dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari
langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya
dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang
berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga
besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib
dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan
ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo
maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak
terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka
sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan
para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga
Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu
Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga
Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki
saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong.
Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa
mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti
jenazahpun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam
itu berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan
kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah
kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang
dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang
mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus
ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak
jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga
besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding.
Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di
bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Namun, kuburan yang dituju bukan
liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah
kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka
dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang
lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa
hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada
untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang
yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak
keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis
kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut
namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam
rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah
leluhur.
Mayat-mayat yang dimakamkan di
kuburan tebing atau kuburan batu (patane)–setelah bertahun-tahun
berlalu–kemudian diangkat dan dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan
menangis. Tapi ada tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain
mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat
tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri.
Yah, inilah fakta yang terjadi di
Tana Toraja. Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat
berjalan hanya bisa ditonton di film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat
berjalan di Tanah Toraja benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.