Cerita mengenai mayat berjalan
banyak versinya. Versi yang pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya
pernah terjadi perang saudara di Tana Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang
Toraja Barat dan Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja
Barat kalah telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung,
seluruh mayat Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang
Toraja Timur, walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat
saudara mereka yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua, mayat
berjalan kaku dan agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari
kehidupan masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah
yang bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya
dengan berjalan kaki.
“Dari zaman purba sampai sekarang
tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya.
Dalam perjalanan itu, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita
warga setempat.
Nah, supaya mayat tidak sampai
ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh
orang mati), maka dengan satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu
kemudian dapat berjalan pulang. Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak
menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong
terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat
berjalan itu baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya di dalam rumahnya
sendiri.
Kendati demikian masih ada satu
pantangan, yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh. Kalau disentuh,
hipnotisnya hilang.
Pada keturunan selanjutnya,
orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan
sendiri ke liang kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni
keluarganya. Di rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk
mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah
itu. Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah
sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga
dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah
menyaksikan sendiri dengan mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri.
“Kejadiannya sekitar tahun 1992.
Waktu itu saya baru kelas 3 SD. Pada saat itu di desa saya ada seorang bernama
Pongbarrak yang ibunya meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak
langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau
penguburan,” jelas Ardiansyah.
Setelah mayat dimandikan, lanjut
Ardiansyah, mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar
khusus sebelum dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga
berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan
nanti.
“Saat itu saya duduk di teras
rumah, tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena
penasaran, saya berusaha melongok ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu
Pngbarrak berjalan keluar dari kamar,” kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu
dia dan temannya kontan berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung
berlari menuruni tangga.
“Saya berlari dan mendapatkan
ayah saya sambil berteriak histeris. Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke
rumah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang
mengaku baru pertama kali melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian
tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah,
Pongbarrak sengaja melakukan ritual tersebut karena dia ingin menghormati
ibunya. Cuma pada malam itu, dia tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak
cuma berusaha mempraktekkan ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di
kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak
pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui
Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang
Toraja yang berada di pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu
soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu.
Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah
memakamkan keluarganya di kuburan batu.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah,
adalah mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh
orang Tanah Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu
tertentu yang diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.
“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang
tak banyak orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah.
Ardiansyah menambahkan, dia
dulunya juga pernah diajari kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa
ngeri, maka dia urung mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki
ilmu membangkitkan orang mati, mereka awalnya mempraktekkan pada binatang
seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus.
“Binatang seperti kerbau yang
sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habis pun, jika diberi mantera-mantera
atau ilmu gaib Tanah Toraja, mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari
kencang, mengamuk ke sana sini,” kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan
adat leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah
Toraja menjalankan mayat dari rante (tempat persemayaman) ke patane, diakui
Ardiansyah, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut
dapat berjalan karena doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai
ditinggalkan. Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi.
“Ritual Ma’nene sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai saja. Tapi bila
mau masuk ke pelosok desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab
warga Toraja masih percaya dengan hal-hal mistik dan karena mereka ingin
menjaga kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.